Friday, April 11, 2008

ULANG TAHUN KOTA PEKALONGAN ATAUKAH 102 TAHUN “KOTA PRADJA’ PEKALONGAN?

102 tahun, untuk ukuran usia manusia merupakan rentang waktu cukup panjang, tetapi untuk sebuah perjalanan sejarah, 102 tahun baru merupakan sebuah fragmen awal babak sejarah. Perayaan HUT Pekalongan atau tepatnya ” Kota Pradja ” Pekalongan tanggal 1 April 1906 sampai dengan 1 April 2008 (ke-102) tentu bukan sebuah harga mati.Karena hal tersebut hanyalah berdasarkan SK Goebernemen Hindia Belanda, padahal Pekalongan sebagai sebuah wilayah akhir abad ke-19 awal abad ke-20 sudah merupakan wilayah yang maju. Adanya jaringan jalan kereta api, pelayanan jasa pos dan telegram. Boom atau bandar yang cukup ramai. Semua itu merupakan cerminan kemajuan.

Berabad masyarakat Pekalongan bergaul dengan suku-suku anak negeri dan bangsa-bangsa dari luar. Kampung Bugisan adalah monumen nyata hal tersebut, bahkan sampai tahun 60-an masih banyak kapal-kapal pelaut Bugis yang sandar di kali Loji. Begitu juga ada fakta lain menunjukkan keturunan beberapa keluarga di Sugih Waras dan Pesindon ada yang bermata coklat dan berkulit terang, tidak tertutup kemungkinan ada gen Portugis yang mengalir di darah mereka. Bangsa Portugis telah menjelajah Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda.
Persinggungan masyarakat Pekalongan dengan suku-suku anak negeri dan bangsa-bangsa luar negeri menumbuhkan rasa egaliter, sikap mandiri dan kemapanan pada masyarakat Pekalongan dan keturunananya. Hala tersebut tercermin pada keteguhan dan keuletan masyarakat Pekalongan menghadapi peristiwa-peristiwa besar berikutnya.

Masyarakat Pekalongan memberi kontribusi luar biasa pada Mataram dengan mendirikan lumbung-lumbung beras untuk logistik ketika Mataram menyerang langsung ke Batavia di bawah panglima perang Bahurekso pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokro Kusuma.

Pada masa Amangkurat II memerintah kerajaan Mataram, ” Pekalongan” menolak hegemoni Mataram dengan carany sendiri. Personifikasi ” Pekalongan” diwakili oleh sosok Pronocitro, putra saudagar kaya Pekalongan yang bernama Nyai Singobarong. Pronocitro membebaskan putri boyongan Roro Mendut dari belenggu petinggi Mataram dengan memborong rokok sebagai tebusan.

Masyarakat Pekalongan juga sangat welcome bahkan memberi perlindungan dan fasilitas luar biasa terhadap sisa-sisa laskar Diponegoro sesudah perang usai akibat pengkhianatan Belanda. Di Kauman, Krapyak dan sekitarnya banyak ditemukan keluarga-keluarga yang merupakan keturunan sisa-sisa laskar Diponegoro.

Peristiwa-peristiwa di atas adalah cerminan kemandirian dan kemapanan masyarakat Pekalongan. Kondisi ini juga tak tergoyahkan oleh zaman malaise yang berlangsung pada tahun sekitar 30-an. Toko kelontong Miyako ( milik orang Jepang ) dan toko roti Abraham (milik orang Yahudi) tetap ramai dikunjungi orang yang berbelanja, bahkan di sekitar jalan Salak, komunitas Yahudi memiliki tempat peribadatan bernama Sinagog.
Pemberangkatan Jamaah haji bisa langsung dari Boom Pekalongan, dari Pabean jamaah haji ditransfer dengan tongkang dan sekoci ke kapal besar milik KPM yang berlabuh di ”Segoro Biru”.
Tahun 1936 adalah pemberangkatan haji terakhir dari Boom Pekalongan
Tahun 1935 berangkat haji 8 orang anggota keluarga H.Masduki, Sugih Waras, dan dari Jenggot, H.Bakri beserta 7 orang anggota keluarganya termasuk keponakan yang kemudian menjadi ulama terkenal di Pekalongan, KH.Akrom Chasani. Tanpa kemandirian dan kemapanan finansial hal-hal di atas tentu tak akan pernah berlangsung.

Masa-masa sulit selama penjajahan Jepang bisa dilalui masyarakat Pekalongan bahkan menjelang berakhirnya masa penjajahan Jepang, masyarakat Pekalongan menunjukkan semangat kepahlawanan yang luar biasa dengan melakukan perlawanan terhadap Kenpetei yang menimbulkan korban pemuda-pemuda Pekalongan.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, masyarakat Pekalongan memberikan dukungan dan perlindungan terhadap para pejuang dan tentara dari berbagai angkatan perang RI dengan menyediakan tempat transit, bahkan desa Candi Areng di Warungasem dijuluki ” Djogja Kecil” sebagai markas para pejuang.

Rekam jejak berbagai peristiwa bersejarah dan heroik merupakan produk kemandirian dan kemapanan masyarakat Pekalongan seharusnya menjadi acuan untuk berpikir ulang apakah HUT Pekalongan ke-102 yang notabene merupakan warisan kolonial masih pantas kita rayakan atau bisakah kita mewarisi spirit kemandirian dan kemapanan para pendahulu kita lebih dari 400 tahunan yang lalu?

Pekalongan, 1 April 2008

Hj. Rusdjanah

Tuesday, March 4, 2008

Adidas Incorporation on Indonesian "Batik" Motif?

Padamulanya sebuah obrolan ringan di greenroom, grandstudio Metrotv di Kedoya,Jakarta. Sore itu Pak Rahardi Ramelan dan Wahyu Aditya sedang bersiap untuk taping acara Padamu Negeri. Topiknya: Ekonomi Kreatif,Merambah Jalan Baru. Saya dan Fifi Aleyda Yahya sedang sharing dan brainstorming dengan mereka berdua.

Setelah bicara definisi, diskusi tentang praksis industri kreatif di Indonesia, peluang dan kendalanya. Studi perbandingan dengan negara-negara lain, memetakan isu-isu penting di sekitar topik itu, Pak Rahardi melempar tinjauan kritisnya mengenai polemik klaim atas batik antara bangsa kita dengan malaysia. Yang paling membuat kami terhenyak dan kian serius menyimak cetusannya adalah bahwa adidas, pernah meluncurkan seri materials of the world: Indonesia.

Bertanya pada google adalah langkah pertama yang lazim ditempuh buat mereka yang curious. Saya tidak berpikir dua kali....eureka.....akhirnya ketemu juga dengan artikel bergambar produk adidas itu. Bacaan soal inkorporasi di masa lalu yang saya catat dalam ingatan mencuat kembali.
check it out:
http://www.hypebeast.com/2006/10/adidas-materials-of-the-world-indonesia-series
http://www.freshnessmag.com/v4/2006/10/14/adidas-materials-of-the-world-indonesia/
http://www.footurama.com/phpBB2/viewtopic.php?t=610&postdays=0&postorder=asc&start=15&sid=c6b21f9914394fe215b79caba516bd03

Bagi yang kurang teliti akan dengan cepat menyimpulkan bahwa batik telah menjadi aksen dari produk-produk adidas itu. Buat para pembatik, yang diinkorporasi oleh adidas hanyalah ragam hias batik, bukan batik itu sendiri. Apalagi buat mereka yang bersikeras bahwa batasan batik adalah teknik rintang warna dengan canting dan lilin, baik yang tulis( handdrawn) dan cetak/cap( handstamp). Bukan printing, sablon apalagi stencil.

Monday, August 6, 2007

Wajah Kosmopolitan Dari Batik Pekalongan





Batik pesisir saat ini sangat diminati, setidaknya sebagai barang dagangan. Bentuknya memang menarik, sayangnya popularitas batik pesisir berhenti sebagai sebuah komoditas. Tetapi apa di balik selembar kain batik pesisir kurang menjadi perhatian, dalam konteks ini batik pesisir kalah jauh dengan batik yang berasal dari lingkungan Istana.


Achmad Ilyas

Bahkan, yang ironis, di tingkat lokal sendiri, sebut saja di Pekalongan, yang merupakan sentra terbesar dari batik pesisir, pengetahuan orang tentang apa yang ada di dalam batik pesisir sangat kurang. Mereka jauh lebih akrab dengan nama-nama batik dari wilayah lain, terutama batik yang dibuat di lingkungan istana.

Dalam kajian sejarah batik, batik pesisir hampir diabaikan. Perhatian dan penelitian sejarah yang dilakukan sejumlah ahli lebih banyak ditujukan pada batik yang berasal dari lingkungan istana, terutama batik dari lingkungan Kraton Solo dan Yogyakarta. Kajian tentang batik pesisir dilakukan lebih akhir.

Terlepas dari persoalan ketidakseimbangan perhatian dari pemerhati batik. Memang harus diakui bahwa jumlah peninggalan atau dokumentasi tentang batik pesisir memang sangat kurang, Kalah jauh dengan peninggalan batik dari lingkungan istana. Peninggalan atau dokumentasi tentang-- dari masa lampau yang saat ini ada, lebih banyak yang berkaitan-- dengan batik istana. Kalaupun ada peninggalan yang berhubungan dengan batik pesisir, maka peninggalan itu berasal dari abad sembilan dan abad dua puluh. Sedang untuk masa sebelumnya hampir dapat disebut tidak ada.
Dokumentasi tentang batik pesisir yang paling awalpun, hanya dapat dilihat dari buku The History Of Java, itupun tidak menjelaskan secara langsung tentang corak batik pesisir.Buku ini menjelaskan adanya dua jenis batik yang ada di Jawa.
Para ahli mempercayai bahwa sejarah keberadaan batik pesisir sudah sangat tua. Dalam buku The Development of Javanese Cotton Industry yang disusun Matsuo Hiroshi,batik telah lama menjadi pakaian yang umum dipakai di kalangan petani, bahkan sejak jaman Majapahit. Atau jauh sebelum batik ditetapkan sebagai pakaian resmi kerajaan oleh Mataram. Meskipun begitu, sejarah perkembangan batik di wilayah ini hingga abad delapan belas tidak banyak diketahui.

Karakter Desain Batik Pesisir
Istilah batik pesisir, adalah sebuah istilah yang umum dipakai untuk menyebut style atau gaya batik yang dibuat di wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Secara tradisional di Jawa batik dibagi menjadi dua jenis batik, batik pesisir dan batik yang dibuat di lingkungan kraton.

Perbedaan yang menonjol antara batik pesisir dan batik dari lingkungan kraton adalah pada pola pewarnaan dan corak ragam yang dipilih. Desain batik pesisir sangat bebas, warna dan corak ragamnya, berbeda dengan batik kraton yang terikat dengan sejumlah pakem atau aturan-aturan yang ditetapkan kraton.
Memang agak susah untuk mendefinisikan bagaimana karakter yang khas dari batik pesisir, Raffles dalam bukuThe History Of Java menjelaskan bahwa ada dua macam pewarnaan dalam jenis batik yang dibuat di pulau Jawa, salah satunya adalah yang kemudian kita kenal sebagai batik pesisir Dalam buku itu ia menyebutkan tentang salah satu pola pewarnaan dari salah satu jenis batik yang ada, batik bang-bangan, biron dan bang-biron atau pola pewarnaan yang sekarang kita sebut sebagai pewarnaan kelengan. Tentu yang ia maksud dengan dengan jenis itu adalah jenis batik pesisir
Pola pewarnaan ini memang dapat disebut sebagai karakter dari jenis batik pesisir yang dapat dilhat sejak masa Raffles, pewarnaan inilah yang membedakan batik pesisir dengan batik dengan pola pewarnaan sogan pada batik dari lingkungan istana.
Sementara batik pesisir dengan pewarnaan yang warna-warni, banyak disebut sebagai karakter batik pesisir pada masa selanjutnya,hal ini sebenarnya perkembangan dari batik merah-biru Pewarnaan kelengan atau merah biru adalah pola pewarnaan yang paling awal dari batik pesisir, pola pewarnaan ini sangat berbeda dengan pola pewarnaan yang pada saat itu berjalan di lingkungan istana. Yang barangkali menjadi pertanyaan apakah pola pewarnaan yang terjadi di wilayah pesisir merupakah pola pewarnaan yang lebih awal dalam sejarah proses pembuatan batik di Jawa? Tetapi yang pasti, sudah sejak lama, batik pesisir memakai bahan pewarna alam yang berbeda dengan bahan pewarna alam yang di pakai di lingkungan kraton. Mengkudu (Morinda Citrifolia), indigo (indigofera) dan kayu tegeran (Cundria Javanese) adalah bahan yang sering dipakai, sementara itu pewarna dari pohon jambal (Pelthoporum Pterocarpa) untuk warna soga yang banyak dipakai pada Batik kraton di lingkungan istana, tidak dikenal di wilayah pesisir .

Pola pewarnaan yang lebih kaya dan tidak sekedar merah biru yang terjadi selanjutnya adalah sebagai akibat introduksi dari sejumlah pengusaha peranakan, terutama keturunan Cina dan kalangan perempuan indo-Eropa yang banyak berkecimpung dalam proses produksi pada pertengahan abad sembilan belas.

Meskipun batik kelengan atau merah-biru disebut sebagai batik pesisir tradisional, tetapi itu tidak berarti corak ragam yang ada pada jenis batik ini di awal abad sembilan belas dapat disebut sebagai corak ragam yang paling original. Sebagian corak ragam batik merah biru yang disebut batik pesisir tradisional meniru dari corak batik dari lingkungan kraton dan corak ragam asing.
Bahkan batik dari desa Klerek di Tuban, yang sering disebut sebagai batik yang paling tradisional di wilayah utara Jawa, juga tidak dapat disebut sebagai bentuk desain yang mewakili atau menjelaskan desain asli dari batik di daerah pesisir. Bahkan dari corak ragam yang ada dari Batik Klerek Tuban itu sendiri, barangkali hanya ada satu jenis yang barangkali tidak dipengaruhi oleh unsur asing, yaitu corak ganggengan.
Sementara itu catatan lain yang berasal dari Cornet de Groot, seorang pejabat di Gresik pada tahun 1822 tentang sejumlah pola yang banyak dibuat di wilayah Gresik,menunjukan bahwa corak ragam yang banyak di buat pada saat itu adalah corak ragam yang dipengaruhi corak tenun, mulai dari corak ragam yang sederhana hingga ke corak ragam tenun yang kompleks. Corak ragam itu sebagian berasal dari corak ragam kain-kain India yang beredar sebelumnya.

Sebagian besar batik pesisir di masa lampau adalah sarung, hanya sebagian yang merupakan kain panjang. Meskipun sarung bukan asli Indonesia, sarung berasal dari melayu atau bahkan ada kemungkinan dari wilayah lebih utara lagi, tetapi sarung sangat popular di wilayah ini. Corak desain sarung adalah corak desain yang mengikuti corak kain India.
Dalam model kain asal India, bagian kepala seperti dalam sarung tidak terdapat pada salah satu sisi kain tetapi merupakan corak ragam yang ada pada kedua tepi kainnya. Sehingga ketika kedua sisi kain itu dipertemukan seperti dalam pemakaian sarung corak ragam itu menjadi satu atau menjadi bagian kepala yang ada dalam sarung. Corak ragam yang umum di dalam kain India adalah corak ragam tumpal,
Sementara batik pesisir dengan desain kain panjang muncul atau popular lebih akhir di wilayah ini.Desain pagi sore, terang bulan dan jawa hokokai yang dibuat lebih akhir adalah desain batik pesisir dalam bentuk kain panjang.
Karakter Corak ragam
Disamping pola pewarnaan yang disebutkan di atas, batik pesisir dapat dibedakan dari jenis batik lain berdasarkan corak ragamnya. Corak ragam batik pesisir tidak satu, tetapi sangat beragam .
Corak ragam dari luar diserap secara bebas di wilayah ini. Hampir tidak ada kendala yang membatasi di dalam proses ini. Bahkan corak-corak ragam dari kraton yang disakralkan di wilayah ini digabungkan dengan corak ragam lain. Atau diberi nuansa yang berbeda,
Di wilayah pesisir penyerapan unsur asing terjadi begitu bebas. Kondisi ini memang agak berbeda dengan yang terjadi dengan batik di wilayah istana. Dalam kajian yang sering ditulis, Batik di masa lalu sering, bahkan hampir selalu dikaitkan dengan sebuah pemaknaan (symbol) atau sebagai syarat dalam suatu acara ritual. Tetapi itu tidak terjadi dengan batik di wilayah pesisir, meskipun sebagian corak ragam di wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh kultur dan kepercayaan setempat, tetapi corak ragam dalam desain batik pesisir setelah abad delapan belas atau barangkali sejak awalnya memang tidak pernah dikaitkan dengan symbol. Orang sering menyebut corak ragam di dalam batik pesisir lebih berfungsi sebagai unsur dekoratif

Barangkali pemaknaan atau simbolitas dalam batik sendiri baru terjadi setelah batik menjadi pakaian resmi di lingkungan Kerajaan Mataram. Dulu, atau sebelumnya, ketika batik hanya di pakai oleh kalangan petani, batik tidak menjadi sebuah symbol
Tidak munculnya fungsi symbol di dalam batik pesisir, barangkali karena perancangan desain batik pesisir tidak pernah berhubungan dengan sebuah proses kekuasaan dari sebuah rezim sebagaimana layaknya batik istana, bahkan pada masa perkembangannya perancangan batik lebih terkait dengan sebuah aktivitas perdagangan. Dalam konteks ini, batik pesisir tidak dibebani pesan untuk membangun sebuah kesakralan, yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah legitimasi kekuasan.

Proses perancangan batik pesisir tidak terpusat pada sebuah kekuatan tetapi tersebar pada sejumlah pelaku yang terjun di dalam proses perdagangan atau pembuatan batik. Dalam konsep ini nyaris tidak ada aturan yang membelenggu kecuali kreativitas itu sendiri. Hampir semua corak ragam dapat masuk ke dalam desain batik pesisir.

Macam corak ragam pesisir sangat beragam. Heringas dan Veldhuisen membagi batik pesisir menjadi delapan macam model batik (1) Batik pesisir tradisional yang merah biru (2) batik hasil pengembangan pengusaha keturunan, khususnya cina dan Indo Eropa (3) batik yang dipengaruhi kuat oleh Belanda (4) batik yang mencerminkan kekuasan kolonial (5) Batik hasil modifikasi pengusaha China yang ditujukan untuk kebutuhan kalangan China (6) Kain panjang (7) batik hasil pengembangan dari model batik merah biru (8) kain adat

Batik Pekalongan
Pekalongan yang dalam sejumlah tulisan disebut berdiri pada jaman Sultan Agung dari kerajaan Mataram, walaupun masih ada kemungkinan keberadaan Pekalongan sebagai sebuah wilayah hunian telah terjadi jauh sebelumnya.
Di wilayah ini, sejak abad sembilan belas telah terjadi perkembangan desain batik yang paling dinamis. Kondisi ini menunjukan kompleksitas sosial yang terjadi di wilayah itu. Betapa tidak, bayangkan hampir seluruh corak ragam asing muncul dalam desain batik Pekalongan. Batik dari wilayah ini sangat kosmopolitan. Corak ragam khas India, Persia, Turki , China dan Belanda terlihat mencolok dalam wajah batik Pekalongan, bahkan menjelang tahun 1940 di Pekalongan, muncul batik dengan gaya Jepang, yang disebut Batik Java Hokokai.

Dalam buku Batik Fabled Cloth Of Java, disebutkan bahwa batik telah diperdagangkan di wilayah ini mulai tahun 1840. tetapi kemungkinan ini bisa lebih awal lagi. Hanya sejak saat itu, dapat disebutkan bahwa di wilayah ini telah berkembang perdagangan batik yang pesat. Kalangan pedagang keturunan, terutama keturunan Cina dan Arab yang banyak tinggal di wilayah pesisir terdorong untuk menjadikan batik sebagai komoditas dagang. Perkembangan yang dipicu oleh hilangnya kain asal di India dan munculnya pasar baru seiring dengan munculnya sejumlah kelas menengah baru di wilayah Indonesia sebagai akibat pemberlakukan kebijakan tanam paksa (cultivation system ) oleh Belanda.
Kalangan pedagang ini pada awalnya hanya memesan batik kepada pengrajin batik yang saat itu banyak tersebar di desa-desa. Konon praktek pemesanan batik oleh kalangan keturunan asing kepada pengrajin yang ada di wilayah pedesaan ini telah berlangsung sejak sebelum VOC.

Batik Tradisional Pesisir
Memang agak susah untuk mendapatkan gambaran yang paling original dari batik pesisir, Veldhuisen ketika mengulas batik Klerek dari Tuban, ia menyebutkan bahwa hanya corak ganggengan yang mungkin merupakan corak ragam yang asli pesisir dan tidak dipengaruhi oleh unsur desain asing.
Sementara corak ragam yang lain dari batik Klerek banyak dipengaruhi oleh corak ragam asing, khususnya India dan China. Memang ada kemungkinan bahwa sebagian corak flora atau fauna adalah corak ragam batik pesisir yang asli, meskipun banyak juga corak jenis dari kelompok ini jelas menunjukan adanya pengaruh India dan China.

Batik India
Kalangan pengusaha keturunan, China dan Arab yang banyak menetap di sejumlah tempat pesisir, memanfaatkan kondisi perubahan peta perdagangan tekstil di wilayah Indonesia dengan memperdagangkan batik.
Mereka memperoleh batik dengan memesan atau meminta para pengrajin untuk membikin batik dengan memberikan upah di depan. Sebagian besar corak ragam yang banyak dipesan adalah corak-corak ragam dari kain Pathola dan Cindai asal India yang sebelumnya sudah sangat popular di Indonesia.
Batik pesisir dengan corak ragam kain India di perkirakan banyak dibuat pada awal abad sembilan belas atau akhir abad delapan belas, Batik dengan corak ragam ini di perdagangkan ke wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan pasar tradisional kain asal India. Karena saat itu kain-kain asal hilang dari pasaran..
Sejak awal abad sembilas atau semenjak menghilangnya kain asal India, batik pesisir dengan corak kain India secara perlahan menjadi busana resmi kalangan perempuan Indo Eropa, mereka memadukan sarung batik yang khas pesisiran dengan kebaya panjang putih.
Corak ragam India yang muncul di dalam batik pesisir adalah corak ragam yang ada di dalam kain India yang dipasarkan di Indonesia sejak abad lima belas. Sebagian merupakan corak ragam geometris tetapi sebagian yang lain corak ragam flora dan fauna. Meskipun berasal dari kain India tidak semua corak ragam itu berasal dari India, sebagian adalah corak ragam dari Persia dan Turki. Batik Jlamprang yang dulu banyak dibuat di Krapyak dan sekitarnya adalah contoh batik dengan corak ragam geometris meniru corak kain pathola (sutera tenun ikat) asal Gujarat India.
Batik Belanda
Berbarengan dengan perkembangan teknik cap, di wilayah Pekalongan sejumlah perempuan Indo Eropa mulai membuat, barangkali terjunnya mereka dalam proses pembikinan batik dipengaruhi sebuah kecenderungan di kalangan mereka yang menjadikan sarung sebagai busana resmi. Mereka dalam mengerjakan batik tidak menggunakan teknik cap(handstamp) yang saat itu banyak di gunakan oleh sejumlah perusahan di wilayah ini. Mereka lebih tertarik dengan teknik tulis(handdrawn).
Mereka yang terjun dalam kegiatan batik ini adalah istri-istri dari sejumlah orang Eropa yang tinggal di Pekalongan, sebagian besar rumah mereka berada di antara Kantor Residen dan Rumah Residen di Kota itu, sekarang jalan Diponegoro, Jl Imam Bonjol atau Jl Progo.
Batik Pekalongan, oleh Veldhiusen dan Heringas disebut sebagai batik yang sangat dipengaruhi Belanda, setidaknya sejak tahun 1860. Caroline Josephine Van Franquemont, adalah orang Indo Eropa pertama yang membikin batik, ia melakukan sekitar tahun 1850-1860. Ia tidak menjalankan kegiatan itu di Pekalongan tetapi di Semarang. Yang lain adalah Lien Metzelaar, dia melakukan pekerjaan itu dari tahun 1870-1920, dan sebenarnya masih banyak nama yang dapat disebutkan. Tetapi yang paling terkenal di antara mereka adalah Eliza Charlota Van Zuylen.
Mereka memusatkan sejumlah pekerja ke dalam sebuah bengkel kerja yang ada di belakang rumahnya, cara ini merupakan sebuah pendekatan baru di dalam proses kerja pembikinan batik. Karena sebelumnya proses batik banyak dilakukan di rumah para pekerja batik. Masuknya mereka atau kalangan perempuan Indo eropa dalam proses produksi pada saat itu, telah menyebabkan sejumlah perubahan pada batik pesisir.

Pengaruh Perempuan Indo eropa dalam perkembangan batik di Pekalongan
Pewarnaan menjadi lebih beragam, sejumlah unsur warna baru muncul di dalam batik Pekalongan, tidak lagi hanya merah biru seperti sebelumnya.
Perubahan pada corak kepala sarung, tidak lagi tumpal, tetapi juga corak yang lain. Pada perkembangan terakhir, corak kepala sarung yang umum merupakan kebalikan (invert) dari corak yang ada pada badan sarung.Pemunculan tulisan nama atau tanda pembikin dalam lembaran batik yang dibuatnya.Corak ragam baru, misal corak ragam flora yang sama sekali baru dalam konsep desain batik, yang kemudian kita sebut sebagai corak buket. Sebagian jenis bunga yang diadopsi dalam batik tersebut adalah bunga khas Eropa.
Corak ragam khas Eropa, mulai muncul setelah tahun 1860. corak ragam yang di adopsi sangat bermacam-macam, disamping corak ragam flora terdapat juga corak ragam yang mewakili symbol budaya Eropa atau corak ragam yang menggambarkan dongeng di negeri mereka, seperti cinderela, topi merah dan yang lain. Dari sekian corak ragam Eropa, maka yang paling menonjol adalah corak ragam buket yang dikembangkan Eliza Carlota Van Zuylen, konon sebagian besar dari corak ragam ini terinspirasi dari gambar karangan bunga pada post-card

Batik China
Menyusul kalangan perempuan indo Eropa, adalah pengusaha keturunan cina. Mereka mulai tertarik pada pengembangan desain batik, mereka tidak hanya terjun pada proses produksi seperti sebelumnya. Dalam pengembangan desain mereka tidak hanya memasukan corak ragam khas China. Tetapi juga corak ragam yang lain. Setelah tahun 1910 banyak batik yang di desain oleh sejumlah pengusaha Cina tidak hanya memasukan ornament yang khas china, seperti Naga atau Phoenix.
TheTie Siet, Oey Soen King, Lim Siok Hien, Lim Boe In, Lim Boen Gan dan Oey Soe Tjoen adalah sebagian dari nama-nama para pengrajin batik dari kalangan keturunan Cina yang banyak berperan dalam pengembangan desain batik di Pekalongan. Diantara mereka Oey Soe Tjoen dapat disebut yang paling dikenal.

Sejumlah batik yang di desain oleh sejumlah peranakan China sangat mirip dengan yang didesain oleh pengusaha Indo eropa. Meski terdapat sejumlah perubahan pada pola pewarnaan atau isen. Sarung encim dapat disebut sebagai contoh dari jenis ini.
Pengaruh desain china pada batik Pekalongan adalah sebagai berikut
Munculnya sejumlah corak ragam China, seperti Naga, Phoenix, Kupu-kupu dan corak ragam yang lain
Pola pewarnaan, para pengusaha Cina memunculkan macam warna yang lebih beraneka ragam, mereka juga memunculkan bayangan atau gradasi warna. Pengembangan pola pewarnaan batik oleh mereka menjadi lebih maju lagi, ketika mereka melakukan proses pewarnaan dengan bahan kimia pada akhir abad kesembilan belas.

Batik Java Hokokai
Malaise dunia yang pertama pada tahun 1930 telah menghancurkan sejumlah perusahaan batik Banyak perusahaan batik di wilayah ini yang bangkrut. Bahkan ada yang mengalihkan usahanya. Di Pekajangan sejumlah pengusaha batik mulai membuka usaha tenun.
Perubahan yang paling fundamental setelah malaise dunia dalam perkembangan desain batik pesisir adalah dibukanya kontak perdagangan Jepang dengan Indonesia. Karena proses ini telah memunculkan gagasan tentang jenis batik yang cocok untuk dipakai sebagai bahan kimono, pakaian khas perempuan Jepang
Batik Java Hokokai dapat disebut sebagai desain batik yang khusus di pasarkan Jepang, rata-rata batik hokokai digarap dengan sangat halus, rancangan corak ragam dan isen juga sangat rumit. Menurut pengakuan pemilik Batik Art di Kedungwuni, Ny Mulyadi Wijaya yang juga menantu Oey Soe Tjoen, Batik Java hokokai yang halus adalah yang di produksi pada saat penjajahan Jepang.Para pengrajin yang bekerja berlama-lama dengan pekerjaan, sederhana saja alasan bagi pembatiknya, untuk tetap mendapatkan jatah makan di tempat kerjanya, Maklum zaman itu makan menjadi problem yang paling penting

Batik Pesisir Yang Lain
Corak ragam batik pesisir yang lain adalah desain batik yang menyerap corak ragam dari batik-batik yang dibuat di lingkungan istana, meskipun terjadi perubahan pada tata warna atau dilakukannya kombinasi dengan corak ragam yang lain. Sehingga desain batik pesisir yang menyerap corak ragam batik dari lingkungan istana ini tidak umum atau tampak beda dengan desain aslinya. Seperti Dlorong Kembang dan Dlorong Kewan.
Disamping itu masih ada corak yang menggabung sejumlah unsur desain yang ada di sejumlah sentra batik, desain ini menyusul perkembangan perdagangan dan interaksi yang kuat antar sentra batik di Jawa. Desain-desain batik yang menggabungkan desain yang berasal dari dua atau tiga sentra batik disebut sebagi batik dua negeri atau batik tiga negeri.
Sayangnya dari sejumlah koleksi batik yang ada dari Pekalongan, lebih banyak yang merupakan batik yang dibuat oleh orang-orang asing atau keturunan, tidak banyak yang merujuk kepada pengusaha pribumi. Kondisi ini dapat berarti karya mereka tidak banyak terkoleksi, mungkin sedikit sekali produksi pengrajin dari kalangan pribumi yang layak di koleksi, tetapi hal ini susah dipahami karena secara kuantitatif jumlah mereka yang terjun dalam proses produksi lebih banyak dari orang-orang asing atau keturunan. Tetapi bisa juga berarti karena mereka tidak menguasai perdagangan. Sehingga sejumlah karya mereka harus berganti label.

Achmad Ilyas, pemerhati batik tinggal di Pekalongan

Wednesday, July 25, 2007

I left my heart in Pekalongan



Ini adalah catatan perjalanan saya ke Pekalongan pada akhir Juni yang lalu. Acara HUT Jalansutra di TMII belum lagi rampung tapi saya sudah harus bergegas ke titik bertemu dengan teman-teman yang akan berangkat ke Pekalongan. Sambil bersalam-salaman dan pamit saya lihat Tatyo berjalan ke mobilnya. “Mau pulang, Mas?” tanya saya. “Oh nggak, ini mau ngambil wine di mobil..” Waks, I missed the best part!

Setelah berkumpul kami pun memulai perjalanan bermobil. Jalan tol Cikampek pamer dada alias padat merayap tersendat-sendat. Di beberapa titik ada rest area yang kian kinclong saja. Jalan Pantura sebagian aspalnya keriting. Di beberapa ruas sedang di perbaiki, mengantisipasi mudik yang akan datang. Lepas tengah malam badan mulai dingin, waktunya minum kopi. Sambil mengurangi kecepatan kami pun celingukan mencari warung atau rumah makan di daerah yang bernama Patrol. Sebagian besar sudah tutup. Ada beberapa warung yang buka, biasanya persinggahan truk, tapi kok remang-remang ya? Bikin malas menghampiri. Akhirnya, kami pun sampai di satu warung yang cukup ramai—walau remang-remang. Sambil ngopi saya mengamati sekeliling ternyata semua warung di daerah situ menggunakan lampu remang-remang untuk menghindari laron dan serangga sejenis kumbang kecil yang banyak di daerah itu. Warung remang-remang di jalur Pantura ternyata memang… remang-remang betulan.

Matahari pagi menyambut kami di Pekalongan. Sekitar jam 07.30 kami sudah sampai di pusat kota. Hmm.. waktunya sarapan. Maksud hati mencari tauto, apa daya sampainya di Masduki. Tauto adalah soto khas Pekalongan yang menggunakan daging kerbau dan tauco. Kuahnya berminyak dan pedas. Tarikan tauco Pekalongan agak berbeda dengan tauco Cianjur; lebih “wide” dan “elegant” ketimbang temannya dari Cianjur yang “sharp” dan “crisp” (lho, ini tauco apa wine??).

Masduki yang saya sebut di atas adalah warung makan khas Pekalongan yang ada di dekat Alun-Alun. Tentu ada megono, cacahan nangka muda dengan parutan kelapa dan bunga kecombrang yang khas. Megono dijadikan taburan atau kondimen. Menu lengkapnya adalah nasi dengan sayur dan lauk pauk. Ada hidangan sayur di Pekalongan yang selalu bikin rindu: potongan tomat hijau, kuah encer berbumbu dengan irisan petai. Pilihan lauk pauk yang tersedia di warung-warung Kota Batik ini adalah sriping (kemungkinan sejenis scallop) yang dioseng-oseng dengan cabai merah (paduan gurih-pedasnya melenakan hati), cumi (biasa disebut sotong) yang dimasak dengan tintanya, juga otot (entah bagian otot sebelah mana dari sapi) yang dimasak pedas. Jadi bisa dibayangkan: sepiring nasi dengan ditaburi megono, kemudian megono itu tenggelam karena disiram kuah sayur tomat hijau dan ada lauk sriping atau otot, atau cumi dengan tinta hitamnya…

Satu hidangan khas warung Masduki adalah garang asem gagrak Pekalongan. Pak Bondan Winarno sudah mencatat paling tidak ada lima varian garang asem yang ada di Jawa. Nah, garang asem Masduki adalah daging sapi dengan kuah kluwak encer yang rich tapi tetap segar. Sebagai pelengkap bisa dipilih telur rebus yang sudah dimasak dengan kuah manis seperti semur.

Badan pun segar oleh kuah garang asem yang hangat. Di alun-alun ada anak-anak SD menampilkan drumband yang unik. Karena belum kuat meniup trumpet atau trombone, selain menggunakan pianika dan xylophone (kalo gak salah ya namanya, itu loh besi yang dentingannya enak), digunakan keyboard yang sudah dirancang bisa dicantel ke pundak dan dihubungkan ke megaphone. Inovasi yang bagus. Lagunya pun nggak tanggung-tanggung buat ukuran anak SD: lagu Melly! “Sampai kapan kau gantung cerita cintaku, memberi harapan.. uwoo uwooo…” Duile… Anak SD geto loh.

Tujuan kami ke Pekalongan adalah menghadiri syukuran pernikahan teman kami Imam Wibowo dengan Afi. Imam adalah penulis di MetroTV. Acaranya di rumah. Hangat dan bersahaja. Sudah lama saya merindukan suasana perhelatan seperti ini. Tapi diam-diam saya juga punya target lain. Saya ingat nasi kebuli Keluarga Darul (orang tua Imam) ini dahsyat punya. Betul juga. Di salah satu pojok ada meja dengan nasi kebuli lengkap dengan uba-rampenya.

Nasi kebuli Ibu Darul selalu hadir dengan dua “lauk” daging. Yang pertama daging sapi yang lean dan tender, yang dimasak dengan bumbu cabe merah berminyak mirip dendeng balado dan yang satu adalah daging yang berlemak yang dimasak bumbu seperti kare tapi dengan kekentalan kuah mendekati kalio. Tapi yang bikin merem-melek adalah acar dari nanas, bawang merah dan cabai merah yang segar lagi merona. Apalagi nasinya tanak sempurna. Ahlan-wa-sahlan.

Selesai bernostalgia dengan nasi kebuli saya pun ngobrol-ngobrol dan menikmati suasana. Eh, ternyata ada tauto. Langsung aja deh diserbu. Keinginan yang tadi pagi sempat teralihkan kini terpuaskan.

Selesai perhelatan kami pun keliling-keliling kota dan terdampar di Warung Barokah di daerah Wiradesa. Jika dari Jakarta, Wiradesa ini ada selepas Pemalang begitu kita memasuki daerah Pekalongan. Sepanjang jalan kita bisa belanja batik grosir. Ada gapura aneh lagi gigantik di perempatan yang mempertemukan empat lengkungan besi di titik tengahnya. Entah apa maksudnya. Nah, warung Barokah ada tak jauh dari gapura aneh itu.

Seperti layaknya warung di Pekalongan, megono, sayur tomat hijau, sotong dan lain-lain juga tersedia di sini. Ada panci berisi sepertinya sayur asem yang menarik perhatian saya karena tidak ada kuahnya. Saya tanya, “Ini kuahnya sudah habis?” Dijawab, “Bukan, Pak. Kuahnya sengaja dipisah biar sayurnya tidak hancur tapi tetap hangat” kata seorang kitchen staff seraya menunjuk panci berisi kuah sayur asem yang nangkring di atas kompor berapi kecil. Wah, tekniknya boleh juga nih..

Tapi bukan itu yang kami buru. Di Barokah ini kambing-kambingannya lumayan mantab (pakai huruf b). Kematangan dan ke-“kering”-an satenya pas dan tidak gosong. Ada kikil dan gulai kambing yang gurih. Sayang sekali karena kami datang ketika matahari mulai doyong ke barat, hidangan karnivoris itu sudah banyak yang habis. Kami cuma kebagian sate dan gulai kambing. Seperti saya bilang, sate kambing yang dihidang dalam hotplate tampil dengan kecantikan yang sempurna. Tidak ada karbon gosong atau bagian yang melawan. Bumbu gule kambingnya tidak kompleks malah menampilkan kegurihan yang lugas, tapi disitulah nikmatnya. Sayang sekali karena hari panas dan gerah, saya tidak bisa memadukan sate dan gule ini dengan “pairing-nya” yaitu teh poci warung ini. Hmmhh.. kalau saja suhu udara agak bersahabat, menyantap sate yang keringnya pas, dengan nasi putih bersaput kuah gule dan tarikan teh poci gula batu… I will be flying…even though I don’t see a bright white light at the end of the tunnel.. (he he he.. serem amat).

Check out dari Barokah dalam keadaan gembrobyos. Teman saya Djudjur T. Susila yang bersama rekan-rekannya beberapa waktu lalu sukses menggelar Festival Batik Pekalongan menceritakan ada kue-kue khas warga Pekalongan keturunan Tionghoa. Terdengar namanya “Nyajo”. Langsung saja mobil diarahkan ke Jl. Rajawali, daerah Bendan. Ternyata yang disebut “Nyajo” adalah “Nyonya Djoe”, nama ibu pembuat kue. Tapi Nyonya Djoe sudah pindah ke Jl. Sumatera, tidak jauh dari situ. Tak lama kami pun sampai di rumahnya. Di ruang tamu yang sederhana itu tersedia beberapa nampah berisi kue-kue berbahan dasar tepung beras dan santan yang gurih yang dimasak di loyang dan dipotong-potong ketika disajikan. Dari sisi genre mungkin agak dekat dengan kue talam, kue pepe atau ongol-ongol di Jakarta. Menurut mbak yang melayani kami, Ny. Djoe sudah 40 tahun berjualan kue “basah” ini. Ada kue lumpang yang berbalut kacang tanah yang digerus kasar. Dicetak dalam mangkok-mangkok kecil. Uniknya, kue lumpang ini tidak terlalu manis. Mungkin bagian dalamnya sengaja dibikin agak “plain” untuk mengimbangi rasa khas kacang. Ada lapis jeruk wangi yang sangat istimewa. Kue tepung beras putih gurih dengan selapis toping warna oranye kecoklatan yang menghantarkan wangi jeruk purut. Balance, dengan sensasi kelembutan yang istimewa. Ada kue latoh, dengan balutan warna dan aroma dari daun suji yang disantap dengan parutan kelapa kukus. Ada satu favorit saya, namun cuma kebagian icip-icip sedikit karena yang tersedia adalah pesanan orang, yaitu getuk singkong, yang mirip dengan getuk singkongnya di daerah Jawa Tengah lainnya namun dengan tekstur yang lebih lembut tapi juga sedikit crusty dengan sedikit isian coklat di tengahnya. I shall return for this getuk singkong!

Sore kami lalui dengan obrolan santai lengkap dengan kopi rempah yang dibeli di toko khas Arab di dekat lapangan Sorogenen. Pekalongan adalah salah satu melting pot kebudayaan yang mengagumkan. Orang keturunan Arab, Tionghoa, OPEK (alias orang Pekalongan) dan etnis-etnis lainnya hidup damai berdampingan dalam vibrancy khas kota pesisir. Almarhum Nurcholish Madjid alias Cak Nur pernah beranalogi, jika secara sederhana mindset kebudayaan nusantara dibagi dua antara pesisir (Sumatra) yang kosmopolit dengan pedalaman (Jawa) yang hirarkis dengan kekuasaan yang efektif beroperasi, maka “sintesis Indonesia” adalah Pekalongan karena Pekalongan adalah “Jawa yang pesisir, Jawa dengan kultur perniagaan dan tata pergaulan yang egaliter”.

Masuk waktu makan malam kami pun berembuk. Ada yang usul kepiting kombor, ikan bakar di Wiroto, sego megono Pak Bon, atau yang lainnya. Saya sebenarnya kepingin sekali makan es sekoteng Wan di daerah Klego. Namanya sekoteng tapi penampakannya sangat berbeda dengan sekoteng konvensional. Selain itu sekoteng di sini bisa disajikan panas atau dingin dengan es. Santan, susu kental manis dan sirup merah mengiringi misoa dan potongan roti tawar. Ya, misoa. Malah tekstur dan rasa plain misoa ini yang menjadi sensasi tersendiri. Tapi akhirnya kami sepakat mencoba tempat baru di Pantai Sigandu yang sudah masuk daerah kabupaten Batang.

Tempat ini merupakan pengembangan dari pelabuhan dan tempat pelelangan ikan di Pantai Sigandu. Agak keluar dari hiruk-pikuk pelabuhan dan pelelangan ikan ada dua tempat makan ikan bakar al-fresco dengan penampilan yang cukup baik. Kami mengambil tempat di salah satu warung itu, yang paling dekat dengan pantai. DI tempat ini saya baru sadar teringat lagi perbedaan nomenklatur penamaan ikan yang sempa menggelitik penasaran saya beberapa tahun yang lalu. Ternyata ikan “pihi” di sini adalah ikan “sebelah” di Jakarta dan ikan “jeruk” adalah ikan “ayam-ayam”.

Bersama pilihan ikan lain dan cumi goreng tepung, datanglah kedua ikan ini. Kesegarannya memang patut dipuji tapi bumbu bakarannya biasa saja, bahkan cenderung tenggelam oleh kecap. Tapi sambel terasinya mana tahan! Sangat kuat aromanya, gurih dan tidak terlalu pedas. Tarikan terasinya mengingatkan saya pada terasi dari Juwana. Aahhh…

Selesai makan kamipun bersiap-siap pulang. Lumayan nih, dua malam berturut-turut tidur di mobil. Sampai di Depok keesokan paginya, walau badan masih pegal, langsung saya menyeduh kopi dan menggelar kue-kue dari Nyonya Djoe untuk dinikmati bareng-bareng keluarga. Tapi rasanya masih ada yang tertinggal di sana.

Duh, Tony Bennett, terpaksa kupinjam lagumu:

“I left my heart, in Pekalongan…”


Dadi Krismatono
Bekerja di Komite Nasional Kebijakan Governance, pegiat komunitas jalan-jalan dan makan-makan, jalansutra, tinggal di Jakarta