Friday, April 11, 2008

ULANG TAHUN KOTA PEKALONGAN ATAUKAH 102 TAHUN “KOTA PRADJA’ PEKALONGAN?

102 tahun, untuk ukuran usia manusia merupakan rentang waktu cukup panjang, tetapi untuk sebuah perjalanan sejarah, 102 tahun baru merupakan sebuah fragmen awal babak sejarah. Perayaan HUT Pekalongan atau tepatnya ” Kota Pradja ” Pekalongan tanggal 1 April 1906 sampai dengan 1 April 2008 (ke-102) tentu bukan sebuah harga mati.Karena hal tersebut hanyalah berdasarkan SK Goebernemen Hindia Belanda, padahal Pekalongan sebagai sebuah wilayah akhir abad ke-19 awal abad ke-20 sudah merupakan wilayah yang maju. Adanya jaringan jalan kereta api, pelayanan jasa pos dan telegram. Boom atau bandar yang cukup ramai. Semua itu merupakan cerminan kemajuan.

Berabad masyarakat Pekalongan bergaul dengan suku-suku anak negeri dan bangsa-bangsa dari luar. Kampung Bugisan adalah monumen nyata hal tersebut, bahkan sampai tahun 60-an masih banyak kapal-kapal pelaut Bugis yang sandar di kali Loji. Begitu juga ada fakta lain menunjukkan keturunan beberapa keluarga di Sugih Waras dan Pesindon ada yang bermata coklat dan berkulit terang, tidak tertutup kemungkinan ada gen Portugis yang mengalir di darah mereka. Bangsa Portugis telah menjelajah Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda.
Persinggungan masyarakat Pekalongan dengan suku-suku anak negeri dan bangsa-bangsa luar negeri menumbuhkan rasa egaliter, sikap mandiri dan kemapanan pada masyarakat Pekalongan dan keturunananya. Hala tersebut tercermin pada keteguhan dan keuletan masyarakat Pekalongan menghadapi peristiwa-peristiwa besar berikutnya.

Masyarakat Pekalongan memberi kontribusi luar biasa pada Mataram dengan mendirikan lumbung-lumbung beras untuk logistik ketika Mataram menyerang langsung ke Batavia di bawah panglima perang Bahurekso pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokro Kusuma.

Pada masa Amangkurat II memerintah kerajaan Mataram, ” Pekalongan” menolak hegemoni Mataram dengan carany sendiri. Personifikasi ” Pekalongan” diwakili oleh sosok Pronocitro, putra saudagar kaya Pekalongan yang bernama Nyai Singobarong. Pronocitro membebaskan putri boyongan Roro Mendut dari belenggu petinggi Mataram dengan memborong rokok sebagai tebusan.

Masyarakat Pekalongan juga sangat welcome bahkan memberi perlindungan dan fasilitas luar biasa terhadap sisa-sisa laskar Diponegoro sesudah perang usai akibat pengkhianatan Belanda. Di Kauman, Krapyak dan sekitarnya banyak ditemukan keluarga-keluarga yang merupakan keturunan sisa-sisa laskar Diponegoro.

Peristiwa-peristiwa di atas adalah cerminan kemandirian dan kemapanan masyarakat Pekalongan. Kondisi ini juga tak tergoyahkan oleh zaman malaise yang berlangsung pada tahun sekitar 30-an. Toko kelontong Miyako ( milik orang Jepang ) dan toko roti Abraham (milik orang Yahudi) tetap ramai dikunjungi orang yang berbelanja, bahkan di sekitar jalan Salak, komunitas Yahudi memiliki tempat peribadatan bernama Sinagog.
Pemberangkatan Jamaah haji bisa langsung dari Boom Pekalongan, dari Pabean jamaah haji ditransfer dengan tongkang dan sekoci ke kapal besar milik KPM yang berlabuh di ”Segoro Biru”.
Tahun 1936 adalah pemberangkatan haji terakhir dari Boom Pekalongan
Tahun 1935 berangkat haji 8 orang anggota keluarga H.Masduki, Sugih Waras, dan dari Jenggot, H.Bakri beserta 7 orang anggota keluarganya termasuk keponakan yang kemudian menjadi ulama terkenal di Pekalongan, KH.Akrom Chasani. Tanpa kemandirian dan kemapanan finansial hal-hal di atas tentu tak akan pernah berlangsung.

Masa-masa sulit selama penjajahan Jepang bisa dilalui masyarakat Pekalongan bahkan menjelang berakhirnya masa penjajahan Jepang, masyarakat Pekalongan menunjukkan semangat kepahlawanan yang luar biasa dengan melakukan perlawanan terhadap Kenpetei yang menimbulkan korban pemuda-pemuda Pekalongan.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, masyarakat Pekalongan memberikan dukungan dan perlindungan terhadap para pejuang dan tentara dari berbagai angkatan perang RI dengan menyediakan tempat transit, bahkan desa Candi Areng di Warungasem dijuluki ” Djogja Kecil” sebagai markas para pejuang.

Rekam jejak berbagai peristiwa bersejarah dan heroik merupakan produk kemandirian dan kemapanan masyarakat Pekalongan seharusnya menjadi acuan untuk berpikir ulang apakah HUT Pekalongan ke-102 yang notabene merupakan warisan kolonial masih pantas kita rayakan atau bisakah kita mewarisi spirit kemandirian dan kemapanan para pendahulu kita lebih dari 400 tahunan yang lalu?

Pekalongan, 1 April 2008

Hj. Rusdjanah