Wednesday, July 25, 2007

I left my heart in Pekalongan



Ini adalah catatan perjalanan saya ke Pekalongan pada akhir Juni yang lalu. Acara HUT Jalansutra di TMII belum lagi rampung tapi saya sudah harus bergegas ke titik bertemu dengan teman-teman yang akan berangkat ke Pekalongan. Sambil bersalam-salaman dan pamit saya lihat Tatyo berjalan ke mobilnya. “Mau pulang, Mas?” tanya saya. “Oh nggak, ini mau ngambil wine di mobil..” Waks, I missed the best part!

Setelah berkumpul kami pun memulai perjalanan bermobil. Jalan tol Cikampek pamer dada alias padat merayap tersendat-sendat. Di beberapa titik ada rest area yang kian kinclong saja. Jalan Pantura sebagian aspalnya keriting. Di beberapa ruas sedang di perbaiki, mengantisipasi mudik yang akan datang. Lepas tengah malam badan mulai dingin, waktunya minum kopi. Sambil mengurangi kecepatan kami pun celingukan mencari warung atau rumah makan di daerah yang bernama Patrol. Sebagian besar sudah tutup. Ada beberapa warung yang buka, biasanya persinggahan truk, tapi kok remang-remang ya? Bikin malas menghampiri. Akhirnya, kami pun sampai di satu warung yang cukup ramai—walau remang-remang. Sambil ngopi saya mengamati sekeliling ternyata semua warung di daerah situ menggunakan lampu remang-remang untuk menghindari laron dan serangga sejenis kumbang kecil yang banyak di daerah itu. Warung remang-remang di jalur Pantura ternyata memang… remang-remang betulan.

Matahari pagi menyambut kami di Pekalongan. Sekitar jam 07.30 kami sudah sampai di pusat kota. Hmm.. waktunya sarapan. Maksud hati mencari tauto, apa daya sampainya di Masduki. Tauto adalah soto khas Pekalongan yang menggunakan daging kerbau dan tauco. Kuahnya berminyak dan pedas. Tarikan tauco Pekalongan agak berbeda dengan tauco Cianjur; lebih “wide” dan “elegant” ketimbang temannya dari Cianjur yang “sharp” dan “crisp” (lho, ini tauco apa wine??).

Masduki yang saya sebut di atas adalah warung makan khas Pekalongan yang ada di dekat Alun-Alun. Tentu ada megono, cacahan nangka muda dengan parutan kelapa dan bunga kecombrang yang khas. Megono dijadikan taburan atau kondimen. Menu lengkapnya adalah nasi dengan sayur dan lauk pauk. Ada hidangan sayur di Pekalongan yang selalu bikin rindu: potongan tomat hijau, kuah encer berbumbu dengan irisan petai. Pilihan lauk pauk yang tersedia di warung-warung Kota Batik ini adalah sriping (kemungkinan sejenis scallop) yang dioseng-oseng dengan cabai merah (paduan gurih-pedasnya melenakan hati), cumi (biasa disebut sotong) yang dimasak dengan tintanya, juga otot (entah bagian otot sebelah mana dari sapi) yang dimasak pedas. Jadi bisa dibayangkan: sepiring nasi dengan ditaburi megono, kemudian megono itu tenggelam karena disiram kuah sayur tomat hijau dan ada lauk sriping atau otot, atau cumi dengan tinta hitamnya…

Satu hidangan khas warung Masduki adalah garang asem gagrak Pekalongan. Pak Bondan Winarno sudah mencatat paling tidak ada lima varian garang asem yang ada di Jawa. Nah, garang asem Masduki adalah daging sapi dengan kuah kluwak encer yang rich tapi tetap segar. Sebagai pelengkap bisa dipilih telur rebus yang sudah dimasak dengan kuah manis seperti semur.

Badan pun segar oleh kuah garang asem yang hangat. Di alun-alun ada anak-anak SD menampilkan drumband yang unik. Karena belum kuat meniup trumpet atau trombone, selain menggunakan pianika dan xylophone (kalo gak salah ya namanya, itu loh besi yang dentingannya enak), digunakan keyboard yang sudah dirancang bisa dicantel ke pundak dan dihubungkan ke megaphone. Inovasi yang bagus. Lagunya pun nggak tanggung-tanggung buat ukuran anak SD: lagu Melly! “Sampai kapan kau gantung cerita cintaku, memberi harapan.. uwoo uwooo…” Duile… Anak SD geto loh.

Tujuan kami ke Pekalongan adalah menghadiri syukuran pernikahan teman kami Imam Wibowo dengan Afi. Imam adalah penulis di MetroTV. Acaranya di rumah. Hangat dan bersahaja. Sudah lama saya merindukan suasana perhelatan seperti ini. Tapi diam-diam saya juga punya target lain. Saya ingat nasi kebuli Keluarga Darul (orang tua Imam) ini dahsyat punya. Betul juga. Di salah satu pojok ada meja dengan nasi kebuli lengkap dengan uba-rampenya.

Nasi kebuli Ibu Darul selalu hadir dengan dua “lauk” daging. Yang pertama daging sapi yang lean dan tender, yang dimasak dengan bumbu cabe merah berminyak mirip dendeng balado dan yang satu adalah daging yang berlemak yang dimasak bumbu seperti kare tapi dengan kekentalan kuah mendekati kalio. Tapi yang bikin merem-melek adalah acar dari nanas, bawang merah dan cabai merah yang segar lagi merona. Apalagi nasinya tanak sempurna. Ahlan-wa-sahlan.

Selesai bernostalgia dengan nasi kebuli saya pun ngobrol-ngobrol dan menikmati suasana. Eh, ternyata ada tauto. Langsung aja deh diserbu. Keinginan yang tadi pagi sempat teralihkan kini terpuaskan.

Selesai perhelatan kami pun keliling-keliling kota dan terdampar di Warung Barokah di daerah Wiradesa. Jika dari Jakarta, Wiradesa ini ada selepas Pemalang begitu kita memasuki daerah Pekalongan. Sepanjang jalan kita bisa belanja batik grosir. Ada gapura aneh lagi gigantik di perempatan yang mempertemukan empat lengkungan besi di titik tengahnya. Entah apa maksudnya. Nah, warung Barokah ada tak jauh dari gapura aneh itu.

Seperti layaknya warung di Pekalongan, megono, sayur tomat hijau, sotong dan lain-lain juga tersedia di sini. Ada panci berisi sepertinya sayur asem yang menarik perhatian saya karena tidak ada kuahnya. Saya tanya, “Ini kuahnya sudah habis?” Dijawab, “Bukan, Pak. Kuahnya sengaja dipisah biar sayurnya tidak hancur tapi tetap hangat” kata seorang kitchen staff seraya menunjuk panci berisi kuah sayur asem yang nangkring di atas kompor berapi kecil. Wah, tekniknya boleh juga nih..

Tapi bukan itu yang kami buru. Di Barokah ini kambing-kambingannya lumayan mantab (pakai huruf b). Kematangan dan ke-“kering”-an satenya pas dan tidak gosong. Ada kikil dan gulai kambing yang gurih. Sayang sekali karena kami datang ketika matahari mulai doyong ke barat, hidangan karnivoris itu sudah banyak yang habis. Kami cuma kebagian sate dan gulai kambing. Seperti saya bilang, sate kambing yang dihidang dalam hotplate tampil dengan kecantikan yang sempurna. Tidak ada karbon gosong atau bagian yang melawan. Bumbu gule kambingnya tidak kompleks malah menampilkan kegurihan yang lugas, tapi disitulah nikmatnya. Sayang sekali karena hari panas dan gerah, saya tidak bisa memadukan sate dan gule ini dengan “pairing-nya” yaitu teh poci warung ini. Hmmhh.. kalau saja suhu udara agak bersahabat, menyantap sate yang keringnya pas, dengan nasi putih bersaput kuah gule dan tarikan teh poci gula batu… I will be flying…even though I don’t see a bright white light at the end of the tunnel.. (he he he.. serem amat).

Check out dari Barokah dalam keadaan gembrobyos. Teman saya Djudjur T. Susila yang bersama rekan-rekannya beberapa waktu lalu sukses menggelar Festival Batik Pekalongan menceritakan ada kue-kue khas warga Pekalongan keturunan Tionghoa. Terdengar namanya “Nyajo”. Langsung saja mobil diarahkan ke Jl. Rajawali, daerah Bendan. Ternyata yang disebut “Nyajo” adalah “Nyonya Djoe”, nama ibu pembuat kue. Tapi Nyonya Djoe sudah pindah ke Jl. Sumatera, tidak jauh dari situ. Tak lama kami pun sampai di rumahnya. Di ruang tamu yang sederhana itu tersedia beberapa nampah berisi kue-kue berbahan dasar tepung beras dan santan yang gurih yang dimasak di loyang dan dipotong-potong ketika disajikan. Dari sisi genre mungkin agak dekat dengan kue talam, kue pepe atau ongol-ongol di Jakarta. Menurut mbak yang melayani kami, Ny. Djoe sudah 40 tahun berjualan kue “basah” ini. Ada kue lumpang yang berbalut kacang tanah yang digerus kasar. Dicetak dalam mangkok-mangkok kecil. Uniknya, kue lumpang ini tidak terlalu manis. Mungkin bagian dalamnya sengaja dibikin agak “plain” untuk mengimbangi rasa khas kacang. Ada lapis jeruk wangi yang sangat istimewa. Kue tepung beras putih gurih dengan selapis toping warna oranye kecoklatan yang menghantarkan wangi jeruk purut. Balance, dengan sensasi kelembutan yang istimewa. Ada kue latoh, dengan balutan warna dan aroma dari daun suji yang disantap dengan parutan kelapa kukus. Ada satu favorit saya, namun cuma kebagian icip-icip sedikit karena yang tersedia adalah pesanan orang, yaitu getuk singkong, yang mirip dengan getuk singkongnya di daerah Jawa Tengah lainnya namun dengan tekstur yang lebih lembut tapi juga sedikit crusty dengan sedikit isian coklat di tengahnya. I shall return for this getuk singkong!

Sore kami lalui dengan obrolan santai lengkap dengan kopi rempah yang dibeli di toko khas Arab di dekat lapangan Sorogenen. Pekalongan adalah salah satu melting pot kebudayaan yang mengagumkan. Orang keturunan Arab, Tionghoa, OPEK (alias orang Pekalongan) dan etnis-etnis lainnya hidup damai berdampingan dalam vibrancy khas kota pesisir. Almarhum Nurcholish Madjid alias Cak Nur pernah beranalogi, jika secara sederhana mindset kebudayaan nusantara dibagi dua antara pesisir (Sumatra) yang kosmopolit dengan pedalaman (Jawa) yang hirarkis dengan kekuasaan yang efektif beroperasi, maka “sintesis Indonesia” adalah Pekalongan karena Pekalongan adalah “Jawa yang pesisir, Jawa dengan kultur perniagaan dan tata pergaulan yang egaliter”.

Masuk waktu makan malam kami pun berembuk. Ada yang usul kepiting kombor, ikan bakar di Wiroto, sego megono Pak Bon, atau yang lainnya. Saya sebenarnya kepingin sekali makan es sekoteng Wan di daerah Klego. Namanya sekoteng tapi penampakannya sangat berbeda dengan sekoteng konvensional. Selain itu sekoteng di sini bisa disajikan panas atau dingin dengan es. Santan, susu kental manis dan sirup merah mengiringi misoa dan potongan roti tawar. Ya, misoa. Malah tekstur dan rasa plain misoa ini yang menjadi sensasi tersendiri. Tapi akhirnya kami sepakat mencoba tempat baru di Pantai Sigandu yang sudah masuk daerah kabupaten Batang.

Tempat ini merupakan pengembangan dari pelabuhan dan tempat pelelangan ikan di Pantai Sigandu. Agak keluar dari hiruk-pikuk pelabuhan dan pelelangan ikan ada dua tempat makan ikan bakar al-fresco dengan penampilan yang cukup baik. Kami mengambil tempat di salah satu warung itu, yang paling dekat dengan pantai. DI tempat ini saya baru sadar teringat lagi perbedaan nomenklatur penamaan ikan yang sempa menggelitik penasaran saya beberapa tahun yang lalu. Ternyata ikan “pihi” di sini adalah ikan “sebelah” di Jakarta dan ikan “jeruk” adalah ikan “ayam-ayam”.

Bersama pilihan ikan lain dan cumi goreng tepung, datanglah kedua ikan ini. Kesegarannya memang patut dipuji tapi bumbu bakarannya biasa saja, bahkan cenderung tenggelam oleh kecap. Tapi sambel terasinya mana tahan! Sangat kuat aromanya, gurih dan tidak terlalu pedas. Tarikan terasinya mengingatkan saya pada terasi dari Juwana. Aahhh…

Selesai makan kamipun bersiap-siap pulang. Lumayan nih, dua malam berturut-turut tidur di mobil. Sampai di Depok keesokan paginya, walau badan masih pegal, langsung saya menyeduh kopi dan menggelar kue-kue dari Nyonya Djoe untuk dinikmati bareng-bareng keluarga. Tapi rasanya masih ada yang tertinggal di sana.

Duh, Tony Bennett, terpaksa kupinjam lagumu:

“I left my heart, in Pekalongan…”


Dadi Krismatono
Bekerja di Komite Nasional Kebijakan Governance, pegiat komunitas jalan-jalan dan makan-makan, jalansutra, tinggal di Jakarta